BAB I
PENDAHULUAN
Banyak faktor yang menyebabkan dekadensi moral anak dan remaja. Salah satu faktor yang cukup dominan adalah kehancuran lembaga keluarga sebagai media pertama pembangun moral dan kepribadian anak. Banyak dari sebagian besar orang tua telah melupakan peran dan fungsinya dalam keluarga. Mereka terlalu disibukkan pada upaya pemenuhan perut semata, terlalu terfokus pada kepentingan sisi lahiriah ketimbang sisi batiniah. Mereka merasa bangga tatkala anggota keluarga (anak) telah terpenuhi segala kebutuhan jasmani, namun sempatkah mereka berpikir untuk memenuhi pula sisi rohani. Anak-anak tidak hanya membutuhkan makan, uang saku, biaya sekolah, mainan dan lain sebagainya. Sebagai manusia, mereka juga membutuhkan kebutuhan rohani, berupa kasih sayang, perhatian dan cinta yang jauh mereka butuhkan. Mereka lupa bahwa keluarga merupakan tahapan pertama anak dalam membangun pondasi dasar kehidupan, media pertama dalam memahami dan memaknai kehidupan sehingga pola interaksi anak dengan anggota keluarga (bapak-ibu) akan mewarnai sikap dan tingkah lakunya dikemudian hari. Oleh karena itu, tanpa disadari bahwa sikap, perilaku dan watak seorang anak merupakan cerminan dari kualitas keluarga, sebagaimana bunyi pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Walaupun tentunya kepribadian anak nantinya juga akan dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya, namun kita tidak dapat mengelak bahwa keluarga tetap memiliki peranan penting dalam membentuk moral dan kepribadian anak.
Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan oleh para orang tua dalam rangka membangun kembali keluarga sebagai wadah penggodokan moral dan kepribadian anak. Pertama, mereka dapat memulainya dengan melaksanakan shalat berjamaah secara istiqomah dan tepat waktu dengan semua anggota keluarga, kendatipun disibukkan oleh berbagai macam persoalan dunia. Hal tersebut, paling tidak akan memberikan kesan dan pesan kepada anak bahwa kapanpun, di manapun dan dalam keadaan bagaimanapun harus tetap ingat kepada Sang Khalik. Kedua, menambah frekuensi komunikasi antar anggota keluarga, hal ini dapat berupa adanya program evaluasi keluarga, mengevaluasi apa yang telah dilakukan dan apa yang hendak dikerjakan esok hari, sehingga dengan padatnya jumlah pertemuan akan berimbas pada terciptanya sikap keterbukaan dan rasa saling memiliki. Dan yang terakhir adalah meningkatkan perhatian dan pengawasan terhadap apa yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh anak. Dengan begitu, orang tua telah ikut memperkecil kesempatan anak untuk melihat, mendengar dan berbuat yang “tidak semestinya dilakukan”
BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN KEPRIBADIAN DAN MORAL ANAK
1. Pendidikan Kepribadian Anak
a. Pengertian Kepribadian
Istilah kepribadian (personality) berasal dari kata latin persona yang artinya “topeng”. Pada bangsa Yunani kuno para aktor memakai topeng untuk menyembunyikan identitas mereka, dan memungkinkan mereka untuk mmerankan beberapa tokoh dalam drama. Teknik dramatik ini kemudian diambil oleh bangsa Roma, dan dari merekalah kita dapat istilah modern personality atau kepribadian.
Terdapat banyak defenisi istilah “kepribadian” kebanyakan diantaranya mengikuti defensi Allport, karena merupakan salah satu yang paling luas cakupannya. Menurutnya kepribadian adalah susunan sistem-sistem psikofisik(kebiasaan , sikap, nilai, keyakinan, keadaan emosional dan perasaan) yang dinamai dalam diri suatu individu yang menentukan penyesuaian individu yang unik terhadap lingkungannya.[1]
Dari beberapa pendapat tentang definisi kepribadian dapat dilihat adanya persamaan-persamaan atau persesuaian pendapat satu sama lain. Diantaranya ialah, bahwa kepribadian dinamis, tidak statis atau tetap saja tanpa perubahan. Ia menunjukkan tingkah laku yang terintegrasi dan merupakan interaksi antara kesanggupan-kesanggupan bawaan yang ada pada individu dengan lingkkungannya. Ia juga bersifat khas, mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dari individu lain[2]
b. Faktor-faktor Kepribadian
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian dapat dibagi sebagai berikut :
ü Faktor Biologis
Faktor biologis merupakan yang berhubungan dengan keadaan jasmani, atau sering juga disebut faktor fisiologis. Keadaan fisik baik yang berasal dari keturunan, maupun yang merupakan pembawaan yang dibawa sejak lahir itu memainkan peranan yang penting pada kepribadian seseorang, tidak ada yang mengingkarinya. Namun demikian itu hanyalah salah satu faktor saja. Dapat diketahui bahwa dalam pembentukan kepribadian selanjutnya faktor-faktor lain terutama faktor lingkungan dan pendidikan tidak dapat kita abaikan.
ü Faktor Sosial
Yang dimaksud faktor sosial disini ialah masyarakat; yakni manusia-manusia lain disekitar anak yang bersangkutan. Termasuk didalamnya tradisi-tradisi, adat-istiadat, bahasa dan lain sebagainya yang berlaku dimasyarakat.
Keadaan dan suasana keluarga juga sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seorang anak, keluarga yang masih utuh (masih ada ayah dan ibunya) berbeda suasananya dengan keluarga yang sudah tidak ada lagi orang tuanya.
ü Faktor Kebudayaan
Diketahui bahwa kebudayaan itu tumbuh dan berkembang didalam masyarakat. Dapat dikenal pula bahwa kebudayaan tiap daerah berlainan. Di negara Indonesia sendiri dapat diketahui kehidupan orang-orang pedalaman berlainan dengan orang-orang Indonesia biasa.[3]
c. Komponen Pola Kepribadian
Dalam hal pola kepribadian sistem-sistem psikofisik yang beragam yang membentuk kepriadian individu saling berkaitan, dan yang satu mempengaruhi yang lain. Dua komponen utama pola kepribadian adalah konsep diri dan sifat-sifat.
· Konsep diri
Konsep diri sebenarnya ialah konsep seseorang dari siapa dan apa dia itu. Konsep ini merupakan bayangan cermin, ditentukan sebagian besar oleh peran dan hubungan dengan orang lain dan apa kiranya reaksi orang lain terhadapnya.
· Sifat-sifat
Sifat-sifat adalah kualitas prilaku atau pola penyesuaian spesifik. Sifat mempunyai 2 ciri menonjol :Individualitas yang diperlihatkan dalam variasi kuantitas ciri tertentu, dan bukan dalam ke khasan ciri bagi orang itu. Dan konsistensi , yang berarti bahwa orang itu bersikap dengan cara yang hampir sama dalam situasi dan kondisi serupa.[4]
d. Teori Kepribadian
Adapun teori kepribadian menurut Sigmund Freud dapat diikhtisarkan dalam rangka :
1. Struktur kepribadian.
Kepribadian itu terdiri atas tiga aspek ;
Ø aspek biologis , mencari keenakan berdasarkan prinsip kenikmatan
Ø aspek psikologis, mencari keenakan dengan prinsip realitas (nyata dan real)
Ø aspek sosiologis, mencari kesempurnaan dari pada aspek biologis dan psikologis. Seseorang dapat menilai sesuatu baik atau tidak untuk dilaksanakan.
2. Dinamika kepribadian.
Dalam dinamika kepribadian terdapat energi yang dinamakan energi psikis yang berasal dari pisiologis yang bersumber pada makanan, energi ini disimpan didalam instink-instink.
3. Perkembangan kepribadian.
Perekembangan kepribadian adalah belajar mempergunakan cara-cara baru dalam mereduksikan tegangan yang timbul karena individu menghadapi berbagai hal yang dapat menjadi sumber tegangan. Adapun sumber tegangan yang pokok adalah
· Proses pertumbuhan fisiologis
· Frustasi
· Konflik
· Ancaman[5]
e. Kondisi Yang Menunjang Persistensi (ketetapan) Kepribadian
- Bawaan
Sifat yang berkaitan, secara langsung atau tidak, dengan unsur bawaan anak akan lebih stabil dari ciri yang mempunyai sedikit hubungan dengan bawaan.
- Pendidikan anak
Metode pendidikan anak dan sikap orang yang menggunakannya relatif tetap stabil, ini memperkuat konsep diri yang sedang berkembang dan pola penyesuaian anak yang karakteristik.
- Nilai-nilai orang tua
Sifat-sifat kepribadian yang sangat dihargai orang tua diperkuat dengan penghargaan orang tua, sementara ciri yang tidak dihargai dibasmi dengan hukuman atau dengan tidak diberikannya penghargaan.
- Memainkan peran
Peran yang dipelajari anak rumah mempengaruhi konsep dirinya. Karena permainan cenderung menetap selama masa kanak-kanak, pengaruhnya pada konsep diri akan lebih persisten.
- Lingkungan sosial
Karena anak melihat dirinya sebagaimana orang lain melihatnya, ini memperkuat perkembangan konsep diri dan metode penyesuaian karakteristik. Perubahan kemudian dalam lingkungan sosial mungkin tidak cukup untuk mengubah pola kepribadian.
- Seleksi dalam lingkungan
Kepribadian anak atau suatu sifat dominan didalamnya menentukan pilihan lingkungan sosial. Melalui pergaulan terus menerus dengan orang dalam lingkungan tersebut, konsep diri anak dan pola penyesuaian karakteristik akan diperkuat. [6]
f. Kondisi Yang Menunjang Perubahan Kepribadian
- Perubahan fisik
Perubahan fisik yang disebabkan proses kematangan, gangguan struktural di otak, gangguan oragnik, gangguan endokrin, cedera, malnutrisi, obat-obat atau penyakit, sering disertai perubahan kepribadian. Pengaruhnya terutama pada konsep diri anak.
- Perubahan lingkungan
Bila perubahan dalam lingkungan meningkatkan status anak dalam kelompok teman sebaya, perubahan mempunyai pengaruh menguntungkan pada konsep diri. Pengaruh ini tidak berasal dari perubahan lingkungan itu saja tetapi dari pengaruh perubahan itu pada anak.
- Tatanan sosial
Semakin kuat dorongan untuk penerimaan sosial, semakin giat anak itu berusaha mengembangkan ciri kepribadian yang memenuhi pola yang disetujui masyarakat.
- Peningkatan dalam kecakapan
Meningkatnya kemampuan, baik dalam keterampilan motorik maupun mental, mempunyai pengaruh menguntungkan pada konsep diri karena pengakuan sosial yang menyertai peningkatan kecakapan tersebut. Hal ini membantu anak mengubah perasaan ketidakmampuan menjadi perasaan mampu dan bahkan superioritas.
- Perubahan peran
Perubahan dari peran bawahan menjadi peran egalitarian atau pemimpin di rumah, sekolah atau lingkungan akan meningkatkan kosep diri anak. Suatu perubahan kearah sebaliknya akan mempunyai dampak negative.
- Pertolongan professional
Psikoterapi membantu anak mengembangkan konsep diri yang lebih meguntungkan dengan membantu mereka memperoleh wawasan akan penyebab konsep diri yang merugikan, dan dengan membantu mereka mengubah konsep diri yang merugikan itu ke yang lebih menguntungkan. [7]
g. Kondisi Fisik yang Mempengaruhi Kepribadian
- Kelelahan
Kelelahan menyebabkan anak mudah tersinggung dan mudah berkelahi, jadi mempengaruhi reaksinya terhadap orang dan sebaliknya.
- Malnutrisi
Kurang gizi mengakibatkan tingkat energi rendah yang terungkap dalam bentuk iritabilitas, depresi, rasa malu, dan perilaku tidak sosial.
- Kondisi fisik yang mengganggu.
Gangguan fisik seperti rasa gatal atau eksema mengarah ke reaksi emosional berlebihan.
- Penyakit menahun
Penyakit menahun seperti alergi dan diabetes menyebabkan ketidakstabilan emosional, emosi negatif yang kuat, dan ketergantungan emosional pada anggota keluarga.
- Kelenjar endokrin
Dari seluruh system endokrin, kelenjar tiroid mempunyai pengaruh paling besar pada kepribadian. Kondisi hipertiroid membuat anak gelisah, marah-marah, gugup, resah dan hiperaktif. Kondisi hipertiroid membuat anak letargik, tidak responsif, depresif, tidak puas, dan curiga. [8]
h. Peranan Lingkungan terhadap kepribadian anak
Lingkungan memiliki peran penting dalam mewujudkan kepribadian anak. Khususnya lingkungan keluarga. Kedua orang tua adalah pemain peran ini. Peran lingkungan dalam mewujudkan kepribadian seseorang, baik lingkungan pra kelahiran maupun lingkungan pasca kelahiran adalah masalah yang tidak bisa dipungkiri khususnya lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga adalah sebuah basis awal kehidupan bagi setiap manusia. Banyak hadis yang meriwayatkan pentingnya pengaruh keluarga dalam pendidikan anak dalam beberapa masalah seperti masalah aqidah, budaya, norma, emosional dan sebaginya. Keluarga menyiapkan sarana pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak sejak dini. Dengan kata lain kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan perlakuan kedua orang tua dan lingkungannya. Rasulullah saw bersabda, “Setiap anak yang dilahirkan berdasarkan fitrah, Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya dia yahudi atau Nasrani atau majusi”.
Lingkungan adalah sesuatu yang berada di luar batasan-batasan kemampuan dan potensi genetik seseorang dan ia berperan dalam menyiapkan fasilitas-fasilitas atau bahkan menghambat seseorang dari pertumbuhan. Lingkungan jika dihadapkan dengan genetik ia adalah faktor luar yang berpengaruh dalam pembentukan dan perubahan kepribadian seseorang baik itu faktor-faktor lingkungan pra kelahiran atau pasca kelahiran yang mencakup lingkungan alam, lingkungan ekonomi dan lingkungan sosial. Lingkungan sosial juga mencakup lingkungan keluarga, sekolah, mazhab dan sebaginya.
Pentingnya lingkungan
Lingkungan sosial manusia adalah faktor penting dalam pembentukan ciri khas kejiwaan dan norma manusia, bahasa dan adab serta kearifan lokal. agama dan mazhablah pada umumnya yang memaksakan lingkungan sosial terhadap manusia.
Syahid Mutahhari berkata, “manusia meskipun ia tidak bisa memisahkan hubungannya dengan genetik, lingkungan alam, lingkungan sosial dan sejarah zaman secara keseluruhan, akan tetapi ia mampu melawannya sehingga bisa membebaskan dirinya dari ikatan faktor-faktor ini. Dari satu sisi manusia dengan kekuatan akal dan ilmunya dan dari sisi lain dengan kekuatan ikhtiar dan imamnya ia mampu melakukan perubahan pada faktor-faktor ini. Faktor-faktor ini ia rubah sesuai dengan kemauannya, sehingga ia menjadi pemilik bagi nasibnya sendiri.oleh karena itu benar kalau kita katakan bahwasanya lingkungan memiliki peran mendasar dalam pembentukan kepribadian manusia akan tetapi bukan faktor penentu yang pasti karena manusia memiliki ikhtiar.[9]
2. Pendidikan Moral Anak
A. Defenisi Moral
Moral berasal dari bahasa latin mores, yang berarti tatacara, kebiasaan, dan adat[10]. Moral adalah sesuatu yang setelah anda lakukan anda merasa nyaman, dan imoral adalah sesuatu yang setelah anda lakukan anda merasa tidak nyaman (Ernest Hemingway, penulis Amerika abad ke 20)
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.[11]
B. Tahap Perkembangan Moral
Perkembangan moral merupakan perbuatan penalaran, perasaan dan prilaku tentang standar mengenai benar atau salah. Teori psikoanalisis menurut Sigmund Frued, rasa bersalah dan keinginan untuk menghindari perasaan bersalah adalah dasar dari prilaku moral[12]. Ketertarikan pada bagaimana anak berpikir mengenai isu moral dipicu oleh Piaget (1932). Dia mengamati anak-anak tentang pemikiran mereka tentang isu etis seperti mencuri, berbohong, hukuman, keadilan dan lain sebagainya.
Piaget meneliti anak-anak yang bermain kelereng dan mewawancarai mereka peraturan-peraturan bermain kelereng. Ketika salah satu peraturan diubah maka anak-anak tidak mau mengikutinya, seolah mereka berpendapat bahwa peraturan itu tidak dapat diubah, inilah yang dinamakan moralitas heteronom. Hal yang sama dicoba pada anak usia 7 tahun keatas dan hasilnya mereka menerima perubahan dan menyadari bahwa peraturan adalah konvensi yang disepakati dan dapat diubah.[13]
Dalam buku lain tahap-tahap perkembangan moral sebagaimana yang dipaparkan oleh John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget juga, ia mengemukakan bahwasanya ada tiga tahap perkembangan moral yaitu; Tahap pramoral, yaitu ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan. Tahap konvensional, ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan. Tahap otonom, ditandai dengan berkembangnya keterikaan pada aturan yang didasarkan pada risiprositas.[14]
Tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal keseluruh dunia adalah yang dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlberg (1995), yaitu hampir sama dengan penjelasan sebelumnya, namun disini akan lebih diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini, anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk serta benar dan salah. Namun demikian, semua ini masih ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka memaklumkan peraturan.
Tingkat prakonvensional ini memiliki dua tahap, yaitu :
a. Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
b. Tahap orientasi relativis – instrumental
Pada tahap ini, perbuatan yang dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar yang berorientasi pada untung rugi. Disini terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dn fragmatis. Resiprositas dilukiskan oleh Kohlberg (1995) dengan kalimat: “Jika mau menggarukkan punggungku maka aku juga akan menggarukkan punggungmu”. Jadi, hubungan disini bukan atas dasar loyalitas, rasa terima kasih, atau keadilan.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat. Semua itu dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri tanpa mengindahkan akibat yang bakal muncul. Sikap anak bukan saja konformitas terhadap pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung, dan membenarkan seluruh tata tertib, serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat.
Tingkat konvensional ini memiliki dua tahap, yaitu:
- Tahap orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut orientasi “Anak Manis”
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Perilaku sering dinilai menurut niatnya sehingga sering kali muncul pikiran dan ucapan “sebenarnya dia bermaksud baik”. Mereka berpandangan bahwa orang akan mendapatkan persetujuan orang lain dengan cara menjadi orang baik.
- Tahap orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas, dan menjaga tata tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
3. Tingkat Pascakonvensional
Pada tingkatan usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi diri dari kelompok tersebut.
Tingkat ini memiliki dua tahap, yaitu:
a. Tahap orientasi kontrak sosial legalitas
Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya, perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Diluar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsure pengikat kewajiban.
b. Tahap orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditemukan oleh keputusan suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi. [15]
C. Kesulitan Dalam Menghadapi Konsep Moral
1. Perkembangan kecerdasan
Tingkat intelegensi yang rendah mempersulit pemahaman konsep moral dan mempengaruhi kemampuan menilai situasi.
2. Jenis pengajaran. Pengajaran yang diberikan oleh orang tua dirumah, hendaknya mendukung untuk meningkatkan moral anak, bukan pengajaran yang merusak moral anak.
3. Perubahan dalam nilai social. Moral yang didapat anak dari sekolah hendaknya sesuai dengan lingkungan anak tersebut. Sebagai contoh disekolah anak diajarkan untuk jujur, namun dilingkungannya sendiri ia menemukan masyarakat yang suka berbohong, maka hal ini dapat menyulitkan untuk pembentukan moral anak.
4. Kode moral yang berbeda. Sering kali guru mengajarkan kepada anak didiknya untuk saling tolong menolong, namun ketika ujian atau mengerjakan tugas anak didik juga selalu dilarang untuk menolong temannya yang sedang kesulitan mengerjakan soal (mencontek).
5. Variasi dalam berbagai situasi. Dalam hal ini “bertengkar” dapat dijadikan contoh, seorang anak diajarkan oleh gurunya, bahwa bertengkar itu tidak boleh, namun dalam situasi tertentu jika anak tersebut tidak bertengkar maka ia disebut pengecut. Nah dari sinilah variasi dalam berbagai situasi itu dapat menyulitkan konsep moral.
6. Konflik dengan tekanan social.
D. Pokok Utama Mempelajari Sikap Moral
· Peran hukum, kebiasaan, dan peraturan. Dengan mempelajari sikap moral berarti juga mempelajari hukum-hukum, karena orang yang bermoral tidak akan melanggar hukum-hukum yang ada. Dengan moral maka kebiasaan dapat dibatasi sehingga tidak melanggar peraturan dan hukum.
· Peran rasa bersalah dan rasa malu. Timbulnya rasa malu dan bersalah merupakan komponen dalam mempelajari sikap moral, dengan adanya rasa ini maka moral seseorang akan meningkat.
· Peran hati nurani. Tahapan tertinggi moral terletak pada hati nurani seseorang, maka peranan hati nurani menjadi titik puncak dari mempelajari sikap moral.
· Peran interaksi social. Interaksi sosial akan meningkat dan meluas jika seseorang telah mempelajari sikap moral dan mengaplikasikannya pada kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Santrock, John W.2007. Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid 2 Erlangga: Jakarta
Ø Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak Jilid 2. Erlangga. Jakarta
Ø Ali, Mohammad , dkk. 2004.Psikologi Remaja. Bumi Aksara. Jakarta.
Ø Surya, Brata Sumadi. 1984. Psikologi Pendidikan. Rajawali Pers. Jakarta
Ø Purwanto, Ngalim. 1990. Psikologi Pendidikan. Remaja Rosdakarya. Jakarta
Ø http://layanangananet.blogspot.com downloaded 16/06/2011
[1] Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak Jilid 2. Erlangga.Jakarta. Hal: 236
[2] Purwanto, Ngalim. 1990. Psikologi Pendidikan. Remaja Rosdakarya. Jakarta. Hal ;156
[3] Purwanto, Ngalim. 1990. Psikologi Pendidikan. Remaja Rosdakarya. Jakarta. Hal: 160-163
[4] Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak Jilid 2. Erlangga. Jakarta. Hal. 237
[5] Surya, Brata Sumadi. 1984. Psikologi Pendidikan. Rajawali Pers. Jakarta:hal.103-108
[6] Hurlock, Elizabeth,B. Perkembangan Anak Edisi Keenam Jilid 2. Erlangga.
[7] Hurlock, Elizabeth,B. Perkembangan Anak Edisi Keenam Jilid 2. Erlangga.
[8] Hurlock, Elizabeth,B. Perkembangan Anak Edisi Keenam Jilid 2. Erlangga.
[9] http://info_syiah.wordpress.com/ downloaded 16/06/2011
[10] Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak Jilid 2. Erlangga. Jakarta. Hal: 74
[11]http://layanangananet.blogspot.com downloaded 16/06/2011
[12] Santrock, John W.2007. Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid 2. Erlangga.Jakarta. Hal:128
[13] Santrock, John W.2007. Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid 2. Erlangga.Jakarta. Hal: 117
[14] Ali, Mohammad, dkk. 2004.Psikologi Remaja. Bumi Aksara; Jakarta. Hal: 137
Ø [15] Ali, Mohammad , dkk. 2004.Psikologi Remaja. Bumi Aksara. Jakarta. Hal; 137-139
makasih tulisan.bagus
BalasHapus