Jumat, 20 Januari 2012

Teori Belajar yang dikemukakan oleh Edward L. Thorndike

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Masalah belajar adalah masalah yang selalu aktual dan selalu dihadapi oleh setiap orang. Belajar adalah dasar untuk memahami perilaku. Maka dari itu banyak ahli membahas dan menghasilkan berbagai teori tentang belajar. Dalam hal ini tidak dipertentangkan kebenaran setiap teori yang dihasilkan tetapi yang lebih penting adalah pemakaian teori – teori itu dalam praktek kehidupan

Sehubungan dengan itu dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan salah satu usaha yang dilakukan adalah memahami bagaimana anak – anak belajar. Apakah perilaku yang menandakan bahwa belajar telah berlangsung pada diri mereka ? bagaimana informasi yang diperoleh dari lingkungan diproses dalam fikran mereka sehingga menjadi milik mereka dan kemudian mereka kembangkan ? dan bagaimana pula seharusnya informasi itu disajikan agar mereka dapat mencerna, dan lama diingat atau bertahan dalam fikiran mereka.

Sedangkan teori belajar selalu bertolak dari sudut pandangan psikologi belajar tertentu. Dengan perkembangannya psikologi dalam pendidikan, maka bersamaan dengan itu bermunculan pula berbagai teori tentang belajar, justru dapat dikatakan bahwa dengan tumbuhnya pengetahuan tentang belajar. Maka psikologi dalam pendidikan menjadi berkembang sangat pesat. Didalam masa perkembangan psikologi pendidikan dijaman mutakkhir ini muncullah secara beruntun beberapa aliran psikologi pendidikan, masing-masing yaitu :

- Psikologi Behavioristik

- Psikologi Kognitif, dan

- Psikologi Humanistic.

B. Permasalahan

Dari ketiga aliran psikologi tersebut, behavioristik adalah merupakan salah satu aliran yang dimiliki oleh Edward Lee Thorndike sehingga dalam makalah ini penulis akan mengangkat tentang :

1. Biografi Edward Lee Thorndike

2. Bagaimana teori-teori Edward L.T. dan eksperimennya?, dan

3. Apa saja hukum-hukum yang digunakan Edward L.T. ?

C. Batasan masalah

Dalam pembahasan masalah, penulis membatasi ruang lingkup hanya pada ketiga aspek tersebut diatas

D. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk menambah wawasan pengetahuan mahasiswa/mahasiswi pada muta kuliah psikologi pendidikan terutama tentang pemikiran dan teori-teori Edward Lee Thorndike sesuai dengan makalah yang penulis susun.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Edward Lee Thorndike

Edward lee thorndike meski secara teknis seorang fungsionalis, namun ia telah membentuk tahapan behaviorisme Rusia dalam versi Amerika. Thorndike (1874-1949) mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895, dan master dari Hardvard pada tahun 1897. ketika disana, dia mengikuti kelasnya Williyams James dan merekapun cepat menjadi akrab.dia menerima bea siswa di Colombia, dan mendapatkan gelar PhD-nya tahun 1898. kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombia sampai pension pada tahun 1940.[1]

Dan dia menerbitkan suatu buku yang berjudul “Animal intelligence, An experimental study of associationprocess in Animal”. Buku ini yang merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung.yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain sebenarnya adalah asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan suatu respon tertentu.

Teori ini disebut dengan teori S-R. dalam teori S-R di katakana bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (Hewan, Orang) belajar dengan cara coba salah (Trial end error). Kalau organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serentakan tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu.

Berdasarkan pengalaman itulah , maka pada saat menghadapi masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus di keluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Seekor kucing misalnya, yang di masukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar dan sebagainya sampai suatu saat secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka. Sejak itu, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama.[2]

B. Teori Belajar yang di Kemukakan Edward Leer Thorndike

Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di amerika serikat di dominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949) teori belajar Thorndike di sebut “ Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dalam rangka menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.

Teori koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edwar L. Thorndike berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.

Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.

Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kecil untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakardan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.

Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psycology of learning” selain itu, teori ini juga terkenal dengan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan. Apabila kita perhatikan secara seksama dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati 2 hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar.

Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk keluar. Sehubung dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.

Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box, merupakan efek positif atau memuaskan yang dicapai oleh respon dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respon, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respon tersebut.[3]

Percobaan yang dilakukan berulang-ulang maka akan terlihat beberapa perubahan yaitu :

1) Waktu yang diperlukan untuk menyentuh engsel bertambah singkat.

2) Kesalahan-kesalahan (reaksi yang tidak relevan) semakin berkurang dan malah akhirnya kucing sama sekali tidak berbuat kesalahan lagi, begitu dimasukkan ke dalam kotak, kucing langsung menyentuh engsel.[4]

Objek penelitian di hadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.

Ciri-ciri belajar dengan trial and error :

    1. Ada motif pendorong aktivitas
    2. ada berbagai respon terhadap situasi
    3. ada aliminasi respon-respon yang gagal atau salah
    4. ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.[5]

Kemudian menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari seara ilmiah. Praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Menurutnya mengajar yang baik adalah tahu apa yang hendak diajarkan, artinya tahu materi apa yang akan diberikan, respon apa yang akan diharapkan dan kapan harus memberi hadiah/ reward.

Ada beberapa aturan yang di buat Thorndike berkenaan dengan pengajaran, yaitu:

1. perhatikan situasi murid

2. perhatikan respon apa yang diharapkan dari respon tersebut

3. ciptakan hubungan respon tersebut dengan sengaja, jangan mengharapkan hubungan terjadi dengan sendirinya

4. situasi – situasi lain yang sama jaangan diindahkan sekiranya dapat memutuskan hubungan tersebut

5. bila hendak menciptakan hubungan tertentu jangan membuat hubungan – hubungan lain yang sejenis

6. buat hubungan tersebut sedemikian rupa hingga dapat perbuatan nyata

7. ciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari – hari [6]

C. Hukum-Hukum yang digunakan Edward Lee Thorndike

adapun dari hasil percobaan Thorndike maka dikenal 3 hukum pokok, yaitu :

1. Hukum Latihan (Law or Exercise)

Hukum ini mengandung 2 hal yaitu :

1. The Law Of Use, yaitu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi kuat bila sering digunakan. Dengan kata lain bahwa hubungan antara stimulus dan respon itu akan menjadi kuat semata-mata karena adanya latihan.

2. The Law of Disuse, yaitu suatu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi lemah bila tidak ada latihan.[7]

Prinsip ini menunjukkan bahwa ulangan merupakan hak yang pertama dalam belajar. Makin sering suatu pelajaran yang diulang makin mantaplah bahan pelajaran tersebut dalam diri siswa. Pada prakteknya tentu diperlukan berbagai variasi, bukan ulangan sembarang ulangan. Dan pengaturan waktu distribusi frekuensi ulangan dapat menentukan hasil belajar.

2. Hukum Akibat (Law of Effect)

Hukum ini juga berisikan 2 hal, yaitu : suatu tindakan/perbuatan yang menghasilkan rasa puas (menyenangkan) akan cenderung diulang, sebaliknya suatu tindakan (perbuatan) menghasilkan rasa tidak puas (tidak menyenangkan) akan cenderung tidak diulang lagi. Hal ini menunjukkan bagaimana pengaruh hasil perbuatan bagi perbuatan itu sendiri. Dalam pendidikan, hukum ini diaplikasikan dalam bentuk hadiah dan hukuman. Hadiah menyebabkan orang cenderung ingin melakukan lagi perbuatan yang menghasilkan hadiah tadi, sebaliknya hukuman cenderung menyebabkan seseorang menghentikan perbuatan, atau tidak mengulangi perbuatan.

3. Hukum Kesiapan (The law of readiness)

Hukum ini menjelaskan tentang kesiapan individu dalam melakukan sesuatu. Yang dimaksud dengan kesiapan adalah kecenderungan untuk bertindak. Agar proses belajar mencapai hasil yang sebaik-baiknya, maka diperlukan adanya kesiapan organisme yang bersangkutan untuk melakukan belajar tersebut. Ada 3 keadaan yang menunjukkan berlakunya hukum ini. Yaitu :

  1. Bila pada organisme adanya kesiapan untuk bertindak atau berprilaku, dan bila organisme itu dapat melakukan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kepuasan.
  2. Bila pada organisme ada kesiapan organisme untuk bertindak atau berperilaku, dan organisme tersebut tidak dapat melaksanakan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kekecewaan.
  3. Bila pada organisme tidak ada persiapan untuk bertindak dan organisme itu dipaksa untuk melakukannya maka hal tersebut akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.

Di samping hukum-hukum belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, konsep penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike adalah yang dinamakan Transfer of Training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang pernah dipelajari oleh anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal lain di masa yang akan datang. Dalam konteks pembelajaran konsep transfer of training merupakan hal yang sangat penting, sebab seandainya konsep ini tidak ada, maka apa yang akan dipelajarai tidak akan bermakna.

Oleh karena itu, apa yang dipelajari oleh siswa di sekolah harus berguna dan dapat dipergunakan di luar sekolah. Misalnya, anak belajar membaca, maka keterampilan membaca dapat digunakan untuk membaca apapun di luar sekolah, walaupun di sekolah tidak diajarkan bagaimana membaca koran, tapi karena huruf-huruf yang diajarkan di sekolah sama dengan huruf yang ada dalam koran, maka keterampilan membaca di sekolah dapat ditransfer untuk membaca koran, untuk membaca majalah, atau membaca apapun.[8]

Selain ketiga hukum pokok di atas, Thorndike mengemukakan adanya 5 hukum tambahan, yaitu :

1. Law of Multiple response, yaitu individu mencoba berbagai respon sebelum mendapat respon yang tepat.

2. Law of attitude, yaitu proses belajar dapat berlangsung bila ada kesiapan mental yang positif pada siswa.

3. Law of partial activity, yaitu individu dapat bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Individu dapat memilih hal-hal yang pokok dan mendasarkan tingkah lakunya kepada hal-hal yang pokok, dan meninggalkan hal-hal yang kecil.

4. Law of response by analogy, yaitu individu cenderung mempunyai reaksi yang sama terhadap situasi baru, atau dengan kata lain individu bereaksi terhadap situasi yang mirip dengan situasi yang dihadapinya waktu yang lalu.

5. Law of assciative shifting, yaitu sikap respon yang telah dimiliki individu dapat melekat stimulus baru.

Menurut Thorndike, belajar dapat dilakukan dengan mencoba-coba. Mencoba-coba ini dapat dilakukan manakala seseorang tidak tahu bagaimana harus memberikan respon. Karakteristik belajar secara mencoba-coba adalah sebagai berikut :

a. Adanya motif pada diri seseorang yang mendorong untuk melakukan sesuatu.

b. Seseorang berusaha melakukan berbagai macam respon dalam rangka memenuhi motif-motifnya.

c. Respon-respon yang dirasakan tidak sesuai dengan motifnya akan dihilangkan.

d. Akhirnya, seseorang mendapatkan jenis respon yang paling tepat.

Thorndike juga mengemukakan prinsip-prinsip belajar yaitu :

a. Pada saat seseorang berhadapan dengan situasi yang bagi dia termasuk baru, berbagai ragam respon maka akan ia lakukan. Respon tersebut ada kalanya berbeda-beda sampai yang bersangkutan memperoleh respon yang benar.

b. Apa yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman, kepercayaan, sikap dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya turut menentukan tercapainya tujuan yang ingin dicapai.

c. Pada diri seseorang sebenarnya terdapat potensi untu mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur penting dari yang kurang atau tidak penting hingga akhirnya dapat menentukan respon yang tepat.

d. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama.

e. Orang cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi tertentu tatkala menyadari bahwa respon yang ia kuasai dengan situasi tersebut mempunyai hubungan.

f. Manakala suatu respon cocok dengan situasinya relatif lebih mudah untuk dipelajari.[9]

KESIMPULAN

Dari uraian diatas maka dapat diambil berapa kesimpulan :

1. Teori belajar yang dekemukakan Edward Lee Thorndike disebut dengan teori Connectionism atau dapat juga di sebut Trial and Error Learning.

2. Ciri-ciri Belajar dengan Trial and error adalah :

  1. Ada motif pendorong aktivitas
  2. Ada berbagai respon terhadap situasi
  3. Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah
  4. Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan

3. Hukum-hukum yang digunakan Edward L. THORNDIKE adalah hukum latihan dan hukum efek.

DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, Nefi. Diktat Psikologi Belajar

George Boeree, Sejarah Psikologi, Jakatra: Prima Shopie. 2005

Imran, Ali. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Pustaka Jaya. 1996

Muhibinsyah, Psikologi Belajar. Jakarta : Logos. 1999

Nunzairina, Diktat Psikologi Pendidikan. Medan. 2009

Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 1998

Winansih, Varia. Psikolgi Pendidikan. Medan : Latansa Press. 2009

Wirawan, Sartito. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi. Jakarta : Bulan Bintang. 2006

Sanjaya Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006


[1] George Boeree, Sejarah Psikologi, (Cet. I; Jakatra: Prima Shopie, 2005), h. 390

[2] Sartito Wirawan, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hal 124.

[3] Muhibinsyah, Psikologi Belajar. Jakarta : Logos. 1999. Hal : 83-85

[4] Nunzairina, Diktat Psikologi Pendidikan. Medan. 2009. Hal : 78-79

[5] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 124

[6] Winansih, Varia, Psikolgi Pendidikan, Medan:Latansa Press, 2009. Hal 25

[7] Nefi Damayanti, Psikologi Belajar, Hal : 54-55

[8] Sanjaya Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2006. Hal : 117

[9] Ali Imran. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Pustaka Jaya. 1996. Hal : 8-9

OPERANT CONDITIONING

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Banyak teori tentang belajar yang telah berkembang mulai abad ke 19 sampai sekarang ini. Pada awal abad ke-19 teori belajar yang berkembang pesat dan memberi banyak sumbangan terhadap para ahli psikologi adalah teori belajar tingkah laku (behaviorisme) yang awal mulanya dikembangkan oleh psikolog Rusia Ivan Pavlov (tahun 1900-an) dengan teorinya yang dikenal dengan istilah pengkondisian klasik (classical conditioning) dan kemudian teori belajar tingkah laku ini dikembangkan oleh beberapa ahli psikologi yang lain seperti Edward Thorndike, B.F Skinner dan Gestalt.

Teori belajar behaviorisme ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penguatan negatif. Evaluasi atau Penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah,tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh, baik yang dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.

Proses yang menunjukkan hubungan secara terus-menerus antara respon yang muncul serta rangsangan yang diberikan dinamakan suatu proses belajar. Dimana dalam makalah ini akan dibahas tentang salah satu teori belajar, yaitu Operant Conditioning yang dikemukakan oleh Skinner.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Skinner, dia berpendapat bahwa operant conditioning ini merupakan suatu situasi belajar, dimana suatu respon dibuat lebih kuat, akibat dari pemberian reinforcement secara langsung. Dan dalam pembentukan prilaku ini, Skinner memiliki prosedur-prosedur tertentu. Dan reinforcement yang diberikan terbagi menjadi 2 macam, yaitu reinforcement positif dan negatif. Dan perlu diperhatikan waktu dalam memberikan reinforcement. Dan sebaiknya dalam pemberian reinforcement, dilakukan secara bervariasi dan berselang-seling.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam makalah ini akan dibahas sebuah teori belajar dari aliran behaviorisme yaitu teori belajar kondisioning operan B.F Skinner yang terdiri dari beberapa hal yaitu:

1. Biografi dari B.F. Skinner.

  1. Bagaimana Latar belakang teori operant conditioning?
  2. Bagaimana Karakteristik operant conditioning ?
  3. Apa yang dimaksud dengan Shaping dan bagaimana psroses shaping?
  4. Bagaimana Penjadwalan reinforcement dalam operant conditioning?
  5. Bagaimana Pemadaman dan pemulihan kembali dalam operant conditioning?
  6. Apa yang dimaksud dengan Generalisasi dan diferensiasi?

1.3.Tujuan Penulisan

Adapun beberapa tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Psikologi belajar PAI;

2. Untuk mempelajari dan memperluas pengetahuan kita tentang berbagai macam teori-teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli, dimana dalam makalah ini dikhususkan pada teori belajar operant conditioning Skinner;

3. Sebagai informasi dan bahan rujukan untuk kita, agar dapat menerapkannya kelak, ketika kita sudah terjun langsung di lapangan dalam mengajar peserta didik, sehingga dapat membentuk prilaku yang baik bagi peserta didik.

BAB II

PEMBAHASAN

OPERANT CONDITIONING

2.1.Biografi B.F . SKINNER

Burrhus Frederic Skinner lahir pada tanggal 20 maret 1904 di kota kecil susquenhanna, pennshyilvania, AS. Ayahnya adalah seorang pengacara dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga dengan kepribadian dan kecerdasan yang kuat. Sebagai seorang anak yang aktif, skinner lebih menyenangi kegiatan di luar rumah dan sangat menikmati kegiatan-kegiatan disekolahnya. Skinner bercita-cita menjadi penulis dan berusaha untuk mewujudkannya dengan mengirim puisi dan cerita pendek keberbagai media cetak.

Setelah beberapa lama berkelana tidak tentu arah, dia memutuskan untuk kembali sekolah, kali ini di Harvard. Dia meraih gelar master dalam bidang psikologi pada tahun 1930 dan doctoral nya tahun 1931 dan menetap di Harvard sampai tahun 1936 untuk melakukan berbagai penelitian. Di tahun 1936 dia pindah di Minneapolis untuk mengajar di university Of Minnesota. Disini dia berkenalan dengan Yvone blue dan tidak lama kemudian menikahinya. Mereka dikarunia dua orang putri. Putrinya yang kedua menjadi sangat terkenal karena dialah anak pertama yang memberi inspirasi berbagai penemuan Skinner, salah satunya adalah kurungan kaca.

Tahun 1945, dia menjadi pimpinan departemen Psikologi di Indiana university. Tahun 1948, dia diminta mengajar di Harvard tempat dia menghabiskan seluruh hidupnya. Skinner adalah orang yang sangat aktif mengadakan penelitian dan membimbing ratusan kandidat doctor sertta menulis begitu banyak buku. Walaupun tidak berhasil menjadi penulis fiksi dan penyair, namun dia berhasil menjadi salah satu penulis psikologi terbaik, termasuk buku Wolden II, sebuah buku fiksi yang menjelaskan prilaku sebuah komunitas berdasarkan perspektif behavioris. Karya tulisnya yang dianggap baru atau yang terakhir berjudul About Behaviorism yang diterbitkan pada tahun 1974. Tema pokok yang mewarnai karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri.[1] Tanggal 18 agustus 1990 skinner meninggal dunia akibat leukemia. Dia akan tetap dikenang sebagai psikolog paling terkenal setelah Sigmund Freud.[2]

2.2. Latar Belakang Teori Operant Conditioning B.F Skinner

Dasar dari pengkondisian operan (operant conditioning) dikemukakan oleh E.L. Thorndike pada tahun 1911, yakni beberapa waktu sesudah munculnya teori classical conditioning yang dikemukakan oleh Pavlov. Pada saat itu thorndike mempelajari pemecahan masalah pada binatang yang diletakkan di dalam sebuah “kotak teka-teki”. Dimana setelah beberapa kali percobaan, binatang itu mampu meloloskan diri semakin cepat dari perobaan percobakan sebelumnya. Thorndike kemudian mengemukakan hipotesis“ apabila suatu respon berakibat menyenangkan, ada kemungkinan respon yang lain dalam keadaan yang sama” yang dikenal dengan hukum akibat“ low of effect[3]

Dari teori yang dikemukakan thorndike, skinner telah mengemukakan pendapatnya sendiri dengan memasukkan unsur penguatan kedalam hukum akibat tersebut, yakni perilaku yang dapat menguatkan cenderung di ulangi kemunculannya, sedangkan perilaku yang tidak dapat menguatkan cenderung untuk menghilang atau terhapus. Oleh karena itu Skinner dianggap sebagai bapak operant conditioning

Jadi, Inti dari teori Skinner tentang Pengkondisian operan (operant conditioning) dalam kaitannya dengan psikologi belajar adalah proses belajar dengan mengendalikan semua atau sembarang respon yang muncul sesuai konsekuensi (resiko) yang mana organisme akan cenderung untuk mengulang respon-respon yang di ikuti oleh penguatan.

2.3. Karakteristik Operant Conditioning

Teori pembiasaan prilaku respon (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan termasuk sangat berpengaruh dikalangan para ahli psikologi belajar masa kini, dimana penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner. Menurut Skinner, prilaku adalah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu. prilaku ini dapat terjadi karena dua pengaruh yaitu pengaruh yang mendahuluinya dan pengaruh yang mengikutinya.[4]

Sistem pembentukan prilaku yang ditawarkan oleh Skinner didasarkan pada ”cara kerja yang menentukan (operant conditioning)”. Dimana Skinner mengemukakan bahwa :

a. Prilaku yang diikuti oleh stimulan-stimulan penggugah memperbesar kemungkinan dilakukannya lagi prilaku tersebut dimasa-masa selanjutnya.

b. Prilaku yang tidak lagi diikuti oleh stimulant-stimulan penggugah memperkecil kemungkinan dilakukannya prilaku tersebut dimasa-masa selanjutnya.[5]

Seperti halnya Pavlov dan Watson, Skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan respon, tetapi berbeda dengan kedua tokoh tersebut, dimana Skinner membuat perincian lebih lanjut. Skinner membedakan adanya dua macam prilaku, yaitu:

1. Respondent behavior ( perilaku responden) yakni perilaku yang ditimbulkan oleh suatu stimulus yang dikenali, contohnya adalah semua gerak reflek.

2. Operant behavior ( perilaku operan) yakni perilaku yang tidak di akibatkan oleh stimulus yang dikenal tetapi dilakukan sendiri oleh organisme. Kebanyakan dari aktivitas kita adalah perilaku operan.

Dengan dibaginya dua macam perilaku tersebut, maka ada dua jenis pengkondisian, yaitu:

1. Respondent conditioning ( pengkondisian responden) atau biasa disebut dengan pengkondisian tipe S. pengkondisian ini menekankan arti penting stimulus dalam menimbulkan respon yang diiginkan. Dalam pengkondisian tipe S ini, identik dengan pengkondisian klasik Pavlov,

2. Operant conditioning ( pengkondisian operan) atau biasa disebut dengan pengkondisian tipe R. dalam pengkondisian ini, penguatan pengkondisinya ditunjukkan dengan tingkat respon. Dan pengkondisian tipe R itu identik dengan pengkondisian instrumental thorndike. Sedangkan riset skinner hampir semuanya berkaitan dengan penngkondisian tipe R.

Prinsip Pengkondisian operan Conditioning, yaitu :

a. Setiap respon yang diikuti oleh reinforcement akan cendrung diulangi.

b. Reinforcement akan meningkatkan kecepatan terjadinya respon. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa reward merupakan sesuatu yang meningkatkan probabilitas timbulnya respon.[6]

v Konsep utama operant conditioning

Dalam sebuah buku dituliskan bahwa menurut skinner, pengkondisian operan terdiri dari dua konsep utama,[7]yaitu:

a. Penguatan (reinforcement)

Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua bagian:

1. Penguatan positif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah , perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb).

2. Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).

Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguatan positif dan penguatan negatif adalah dalam penguatan positif ada sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh. Dalam penguatan negatif, ada sesuatu yang dikurangi atau di hilangkan. Dalam penguatan negatif, ada sesuatu yang dikurangi atau di hilangkan. Mudah untuk mengacaukan penguatan negatif dengan hukuman. Agar istilah ini tidak rancu, ingat bahwa penguatan negatif meningkatkan probabilitas terjadinya suatu prilaku, sedangkan hukuman menurunkan probabilitas terjadinya perilaku.

Skinner menganggap bahwa reward atau reinforcement merupakan factor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat, bahwa tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingah laku.[8] Perbedaan antara classical conditioning Pavlov dengan operant conditioning skinner yaitu dalam classical conditioning merupakan akibat dari suatu tingkah laku itu, dan reinforcement tidak diperlukan karena stimulinya menimbulkan respon yang diinginkan. Operant conditioning adalah suatu situasi belajar dimana suatu respon dibuat lebih kuat akibat adanya reinforcement langsung.[9]

b. Hukuman (punishment)

Hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku atau apa saja yang menyebabkan sesuatu respon atau tingkahlaku menjadi berkurang atau bahkan langsung dihapuskan atau ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari kita dapat mengatakan bahwa hukuman adalah mencegah pemberian sesuatu yang diharapkan organisme, atau memberi sesuatu yang tidak diinginnya.

Namun menurut skinner hukuman tidak menurunkan probabilitas respon, walaupun hukuman bisa menekan suatu respon selama hukuman itu diterapkan, manun hukuman tidak akan melemahkan kebiasaan. Skinner juga berpendapat bahwa hukuman dalam jangka panjang tidak akan efektif, tampak bahwa hukuman hanya menekan perilaku, dan ketika ancaman dihilangkan, tingkat perilaku akan ke level semula[10] Contohnya :

Penguatan positif

Perilaku

Muridmengajukan pertanyaan yang bagus

Konsekuensi

Guru memuji murid

Prilaku kedepan

Murid mengajukan lebih banyak pertanyaan

Penguatan negatif

Perilaku

Murid menyerahkan PR tepat waktu

Konsekuensi

Guru berhenti menegur murid

Prilaku kedepan

Murid makin sering menyerahkan PR tepat waktu

Hukuman

Perilaku

Murid menyela guru

Konsekuensi

Guru menegur murid langsung

Prilaku kedepan

Murid berhenti menyela guru

Ingat bahwa penguatan bisa berbentuk postif dan negatif. Dalam kedua bentuk itu, konsekuensi meningkatkan prilaku. Dalam hukuman, perilakunya berkurang.

Reinforcement negative itu sering dikacaukan dengan hukuman. Proses reinforcement baik positif ataupun negative selalu berupa memperkuat tingkah laku. Sebaliknya, hukuman mengandung pengurangan atau penekanan tingkah laku. Dalam kaitannya dengan hukuman, Skinner tidak mendukung digunakannya hukuman dalam rangka pembentukan prilaku, karena hukuman dalam jangka waktu yang panjang tidak mempunyai pengaruh, justru banyak segi negatifnya daripada segi positifnya.

2.4. Shaping (pembentukan respon)

Berdasarkan pengkondisian operan, pada tahun 1951 skinner mengembangkan teknik “ pembentukan respon” atau disebut dengan shaping untuk melatih hewan menguasai tingkah laku yang kompleks yang juga relevan dengan tingkah laku manusia. Teknik pembentukan respon ini dilakukan dengan cara menguatkan organisme pada setiap kali ia bertindak ke arah yang diinginkan sehingga ia menguasai atau belajar merespon sampai pada suatu saat tidak perlu lagi menguatkan respon tersebut.

Dalam metode Shaping ini diperlukan langkah-langkah yaitu:

1. Membuat analisis atau penjabaran prilaku yang akan dibentuk kedalam prilaku-prilaku yang lebih kecil yang menuju kepada prilaku yang akan dibentuk.

2. Menentukan reinforcement yang akan digunakan.

3. Reinforcement hanya akan diberikan pada prilaku yang makin dekat dengan prilaku yang akan dibentuk.

2.5. Penjadwalan Reinforcement

Dalam operant conditioning, jadwal penguat adalah komponen penting dari proses belajar. Kapan dan seberapa sering kita memperkuat perilaku yang dapat memiliki dampak yang dramatis pada kekuatan dan kecepatan respon. jadwal penguatan tertentu mungkin lebih efektif dalam situasi tertentu. Ada dua jenis jadwal penguatan[11], yaitu :

1. Continuous Reinforcement Continuous Reinforcement ( penguatan terus-menerus)

Dalam penguatan terus menerus, penguatan diberikan pada saat setiap kali organisme menghasilkan suatu respon. Pada umumnya, jadwal ini paling baik digunakan selama tahap awal belajar untuk menciptakan hubungan yang kuat antara perilaku dan respon. Setelah respon terpasang kuat, penguat biasanya beralih ke jadwal penguatan parsial.

2. Partial Reinforcement Partial Reinrorcement ( penguatan parsial)

Dalam penguatan parsial, respon diperkuat hanya bagian dari waktu. Belajar perilaku diperoleh lebih lambat dengan penguatan parsial, tetapi tidak mendapatkan respon yang lebih tahan terhadap kepunahan . Ada empat jadwal penguatan parsial:

1. Rasio jadwal tetap adalah yang mana tanggapan hanya diperkuat setelah sejumlah tertentu tanggapan. jadwal ini menghasilkan tingkat, tinggi stabil hanya merespons dengan jeda singkat setelah pengiriman penguat tersebut.

2. Rasio jadwal Variabel terjadi ketika respon diperkuat setelah sejumlah tanggapan tak terduga. Jadwal ini menciptakan tingkat stabil tinggi merespons. Perjudian dan permainan lotere adalah contoh yang baik dari hadiah berdasarkan jadwal rasio variabel.

3. Interval jadwal tetap adalah mereka dimana respon pertama dihargai hanya setelah sejumlah waktu tertentu telah berlalu. Jadwal ini menyebabkan jumlah tinggi menanggapi dekat akhir interval, namun jauh lebih lambat merespon segera setelah pengiriman penguat tersebut.

4. interval jadwal variabel terjadi ketika respon dihargai setelah jumlah yang tak terduga waktu telah berlalu. jadwal ini menghasilkan lambat, stabil tingkat respons.

Menurut Skinner, pemberian reinforcement yang terbaik yaitu tidak menentu kapan reinforcement itu diberikan. Sebaliknya jika reinforcement yang diberikan pada waktu yang tetap, akan menimbulkan kebiasaan dalam menerima reinforcement, dimana hal ini kurang baik.[12]

2.6. Pemadaman Dan Pemulihan Kembali

Seperti halnya dalam pengkondisian klasik, ketika kita mencabut penguatan dari situasi pengkondisian operant, berarti kita melakukan extinction ( pemadaman/ pelenyapan). Misalnya dalam percobaan skinner. Pada saat hewan sudah biasa menekan tuas untuk mendapatkan makanan, mekanisme pemberian makanan mendadak dihentikan, maka penekanan tuas tidak akan mmenghasilkan makanan bagi tikus terseabut. Dari ini kita akan melihat catatan komulatif pelan-pelan akan mendatar dan akhirnya akan kembali seperti semula, yang menunjukkan tidak ada lagi respon penekanan tuas (seperti pada saat penguatan belum diperkenalkan) Pada hal ini kita akan mengatakan telah terjadi pemadaman.

Setelah pemadaman, apabila hewan dikembalikan ke sarangnya selama periode waktu tertentu dan kemudian dikembalikan ke dalam situasi percobaan, ia akan sekali lagi mulai menekan tuas dengan segera tanpa perlu dilatih lagi. Ini disebut sebagai pemulihan kembali.

2.7. Generalisasi Dan Diferensiasi (diskriminasi)

Yang dimaksud dengan generalisasi adalah penguatan yang hampir sama dengan penguatan sebelumnya akan dapat respon yang sama. Organisme cenderung menggeneralisasilkan apa yang di pelajarinya, contoh dalam kehidupan sehari-hari, seorang siswa akan mengerjakan PR dengan tepat waktu karena pada minggu lalu ia mendapat pujian didepan kelas oleh gurunya ketika menyelesaikan PR tepat waktu. Contoh lainnya, anak kecil yang mendapatkan penguatan oleh orang tuanya karena menimang dan menyayangi anjing keluarga, ia akan segera menggeneralisasikan respon menimang anjing itu dengan anjing yang lain.

Generalisasi dapat juga dapat dikekang oleh latihan diskriminasi. Diskriminasi adalah respon organisme terhadap suatu penguatan, tetapi tidak terhadap jenis penguatan yang lain. Latihan diskriminasi akan efektif jika terdapat stimulus diskriminatif yang jelas dalam membedakan kasus dimana respon harus dilakukan dengan khusus dengan kasus dimana respon harus ditekan.

Jika dikaitkan dengan contoh diatas dimana anak akan menggeneralisasikan menyayangi anjing keluarga dengan anjing yang lainnya, sedangkan dapat berbahaya ( katakanlah, anjing tetangga sangat galak dan suka menggigit) maka orang tua harus memberikan latihan diskriminasi, sehingga anak mendapatkan penguatan jika ia menyayangi anjing keluarga dan bukan anjing tetangga, dengan cara orang tua menunjukkan aspek-aspek anjing yang melihatkan keramahannya( misalnya ekornya biasa dikibas-kibas) sehingga anak akan bisa mengenali mana anjing yang ramah dan bisa disayang dan mana anjing yang galak.[13]

2.8. Kelebihan Dan Kekurangan Teori Operant Conditioning

Dalam sebuah teori tentunya tentunya ada kelebihan dan kelemahannya, begitu juga di dalam teori operant conditioning. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari teori operant conditioning.

· Kelebihan

Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya. hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman. Hal itu didukung dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya kesalahan. Dan dengan adanya penguatan, menjadikan motivasi bagi organisme untuk berperilaku yang benar sesuai dengan keinginan.

· Kekurangan

a) Proses belajar dapat diamati secara langsung, padahal pelajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapt disaksikan dari luar, kecuali sebagai gejalanya.

b) Proses belajar bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap individu memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri)dan sellf-control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, sehinggga ia bisa menolak jika ia tidak menghendaki

c) Proses belajar manusiia dianalogikan dengan perilaku hewan itu sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik maupun psikis antara mannusia dan hewan.[14]

2.9. Eksperiment Skinner

Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti sangkar yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”, yaitu suatu box yang didalamnya ada pengungkit, tempat makanan (penampung makanan ), lampu ( yang dapat dinyalakan dan dimatikan sesuai dengan kehendak eksperimenter), dan lantai dengan gril yang dapat dialiri listrik.

Dalam eksperimen tadi, tikus yang akan diuji coba, dilaparkan terlebih dahulu, kemudian dimasukkan kedalam box. Karena tikus dalam keadaan lapar, diasumsikan adanya dorongan untuk mencari makanan. Tikus yang dimasukkan tadi ternyata mengadakan gerakan-gerakan atau respon, dan tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari kesana-kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding dan sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut “emmited behavior”( tingkah laku yang terpancar) yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa mempedulikan stimulus tertentu. Kemudian pada gilirannya, secara kebetulan salah satu emmited behavior tersebut dapat menekan pengungkit.

Banyaknya sentuhan atau penekanan pada suatu waktu tertentu dihitung sebelum terbentuk kondisioning operan, dan ini yang sering disebut base line atau opernat level. Setelah ini diketahui, maka eksperimenter lalu mengaktifkan alat pemberi makanan, sehingga apabila tikus menyentuh pengungkit, maka makanan akan jatuh pada tempat makanan. Tikus akan segera makan, dan tikus akan menekan kembali pengungkit untuk mendapatkan makanan lagi.[15] Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila di iringi dengan reinforcement yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.[16]

Disamping itu pula dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

  1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
  2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

2.10. Aplikasi Belajar dari Teori Operant Conditioning

Setelah membahas mengenai teori operant conditioning yang dikemukakan oleh Skinner, dimana inti dari teorinya adalah membentuk perilaku suatu organisme dengan menggunakan reinforcement atau reward yang diberikan kepada organisme tersebut, sehingga terbentuklah perilaku yang dinginkan. Seperti yang telah dikemukakan diatas, tentang prosedur pembentukan prilaku oleh skinner, yiatu :

1. Membuat analisis atau penjabaran prilaku yang akan dibentuk, ke dalam prilaku-prilaku yang lebih kecil yang menuju kepada prilaku yang akan dibentuk

2. Menentukan reinforcement yang akan digunakan

3. Reinforcement hanya akan diberikan pada prilaku yang makin dekat dengan prilaku yang akan dibentuk

Dengan mengacu kepada prosedur yang dibuat skinner diatas, maka salah satu contoh pengaplikasiannya, yaitu Misalnya untuk membentuk prilaku anak agar tidak datang terlambat ke sekolah. Prilaku ini perlu dijabarkan atau dianalisis menjadi tahapan-tahapan prilaku yang nantinya akan berakhir kepada prilaku yang ingin dibentuk itu. Untuk tidak dating terlambat ke sekolah, maka tahapan-tahapan prilaku yang harus dilakukan, yaitu :

1. anak harus bangun lebih pagi,

2. mandi

3. mengenakan pakaian sekolah

4. makan pagi dan seterusnya.

Dalam pembentukan perilaku ini, sudah tentu reward tidak dilupakan, sebab ini merupakan prinsip dasar dari operant conditioning. Reward diberikan pada prilaku atau respon yang makin lama mendekati kepada tujuan yang akhir, yaitu tidak dating terlambat ke sekolah.

Jadi, kalau anak sudah bangun lebih pagi, lalu kemudian kita beri reward. Kemudian reward tidak lagi diberikan pada saat anak bangun pagi, tetapi dipindahkan apabila anak sudah mandi. Kemudian reward dipindahkan lagi, tidak sehabis mandi diberikan reward, tetapi bila anak telah sarapan pagi, dan begitu seterusnya, hingga pada akhirnya akan terbentuk perilaku tidak datang terlambat ke sekolah. Dalam pemberian reward ini, tidak harus dalam bentuk barang, bias juga dalam bentuk perkataan.[17]

Apa yang dikemukakan diatas adalah suatu penyederhanaan mengenai prosedur pembentukan tingkah laku melalui operant conditioning. Di dalam kenyataannya, prosedur itu banyak sekali variasinya dan lebih kompleks dari pada apa yang dikemukakan di atas.

Teori Skinner tersebut dewasa ini sangat besar pengaruhnya, terutama di AS dan Negara-negara lainnya. Konsep-konsep behavior control dan behavior modification yang sangat popular dikalangan-kalangan tertentu, bersumber pada teori ini. Di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam lapangan metodologi dan tekhnologi pengajaran, pengaruh ini sangat besar. Program-program inovatif dalam bidang pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan atas teori Skinner. Program-program yang demikian itu, misalnya :

1. Programmed Instruction, dan sarananya programmed book

2. Computer Assisted Instruction ( CAI )

3. Program yang menggunakan teaching machine.[18]

v Aplikasi Skinner terhadap pembelajaran.

Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

a. Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit yang terkecil.

b. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar diperkuat.

c. Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.

d. Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari pelanggaran agar tidak menghukum.

e. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.

f. Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)

g. Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat mencapai tujuan.

h. Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan pembentukan (shaping).

i. Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas mengenai teori belajar Operant Conditioning, dapat ditarik kesimpulan bahwa teori operant conditioning ini lebih menekankan kepada pembentukan tingkah laku individu melalui suatu pembiasaan respon yang dibantu dengan adanya reinforcement atau penguatan-penguatan. Operant conditioning adalah suatu situasi belajar, dimana suatu respon dibuat lebih kuat akibat adanya reinforcement secara langsung. Dimana dalam pembentukan prilaku yang dikemukakan oleh Skinner ini, memiliki beberapa prosedur, yaitu :

1. Membuat analisis atau penjabaran prilaku yang akan dibentuk, ke dalam prilaku-prilaku yang lebih kecil yang menuju kepada prilaku yang akan dibentuk

2. Menentukan reinforcement yang akan digunakan

3. Reinforcement hanya akan diberikan pada prilaku yang makin dekat dengan prilaku yang akan dibentuk.

Dalam pembentukan perilaku melalui reinforcement ini, Skinner membagi reinforcement menjadi dua macam, yaitu reinforcement positif dan negative, yang mana keduanya sama-sama memberikan penguatan terhadap tingkah laku. Berbeda hal nya dengan hukuman, dimana Skinner tidak mendukung digunakannya hukuman dalam rangka pembentukan prilaku, karena hukuman dalam jangka waktu yang panjang tidak mempunyai pengaruh, justru banyak segi negatifnya daripada segi positifnya.

Dan juga perlu diperhatikan, bahwa dalam hal waktu pemberian reinforcement, sebaiknya dilakukan secara bervariasi dan berselang-seling, tidak ditetapkan dalam satu waktu yang selalu sama. Dan di dalam operant conditioning ini ada yang dinamakan pemadaman dan pemulihan kembali, serta ada yang disebut dengan generalisasi dan diskriminasi dalam tingkah laku.

Teori belajar operan kondisioning Skinner memberi banyak kontribusi untuk praktik pengajaran. Konsekuensi penguatan dan hukuman adalah bagian dari kehidupan dan murid. Jika dipakai secara efektif, pandangan teori ini akan mendapat membantu para guru dalam pengelolaan kelas. Demikian pula prinsip-prinsip dan hukum-hukum belajar yang tertuang dalam teori ini akan membantu guru dalam menggunakan pendekatan pengajaran yang cocok untuk mencapai hasil belajar dan perubahan tingkah laku yang positif bagi anak didik.

DAFTAR PUSTAKA

Asrori, Muhammad. 2007. Psikologi Pembelajaran. CV. Wacana prima : Bandung

Atkinson, Rita l. 1987. Pengantar Psikologi Edisi Ke Sebelas. Interaksara : Batam

Bell, Margareth E. 1991. Belajar dan Membelajarkan. CV Rajawali : Jakarta

Boerre, George. 2009. Personaliti Theoris. Prisma Sophie : Yogyakarta

Dalyono, M. 1997. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta : Jakarta

Damayanti, Nefi, Psikologi Belajar.

Hardy, Malcolm.dkk. 1988. Pengantar Psikologi Edisi Ke Dua. PT. Gelora Aksara : Semarang

Hergenhahn. 2008. Theories Of Learning. Prenada Media Group.

Http//www. Feureau.com

Mahmud, Dimyati. 1990. Psikologi Pendidikan BPFE : Yogyakarta

Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umun Dalam Lintasan Sejarah. Pustaka Setia : Bandung

Soemanto, Wasty. 1990. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta : Jakarta

Suryabrata, Sumadi. 1989. Psikologi Pendidikan. Rajawali : Jakarta

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta



[1] Muhibbin syah, Psikologi Belajar (Jakarta: logos, 1999) h. 88

[2] George boerre,Personaliti Theoris (Yogyakarta:,Prisma Sophie, 2009) h. 227-228

[3] Malcolm hardy & steve heyes. Pengantar psikologi. ( Semarang : Erlangga,1985 ) h. 42

[4] Dimyati Mahmud, Psikologi Pendidikan (Yogyakarta: BPFE,1990) h. 123

[5] George boerre,Personaliti Theori (Yogyakarta: Prisma Sophie, 2009) h 228-229

[6] Nefi Damayanti, Psikologi Belajar. h. 39 - 40

[7]Mohammad Asrori, Psikologi pembelajaran. ( Bandung : wacana prima, 2007 ) h. 9

[8] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1998 ) h. 125

[9] Ibid., 126

[10] B.R. hergenhahn, Theories of learning. ( Prenada Media Group, 2008 ) h. 99

[11]http // www. Feureau.com

[12] Nefi Darmayanti, Psikologi Belajar, h. 38-48

[13] Rita L. Atkinson. Pengantar psikologi. h. 448

[14] Muhibbin syah. Psikologi belajar. (Jakarta: logos, 1999) h. 100-101

[15] Nefi darmayanti, Psikologi Belajar h. 42

[16] Syah, Opcit.,. h. 89

[17] Darmayanti, Opcit., h. 43

[18] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995 ) h. 294